Rabu, 14 Desember 2016

[ Studi Kasus ] Benarkah Sang Gubernur tersebut sedang menista Agama/Ulama?


Symbol - Domain Kitab Suci adalah domain umat (komunitas),
 bukan domain pribadi (individu)

How's everything?

Tulisan ini sebenarnya tidak bermaksud memprovokasi tetapi merupakan opini penulis pribadi (an independent vision) tentang pro kontra kasus yang sedang berkembang di masyarakat. Tulisan ini diharapkan menjadi masukan obyektif bagaimana memandang kasus tsb.

Langsung saja ke pokok permasalahan. Sang Gubernur yang non muslim ini beralibi bahwa pernyataannya tsb ditujukan mungkin (asumsi penulis) untuk mengcounter 'lawan' politiknya sekaligus memberikan semacam 'pencerahan' kepada khalayak (yang mayoritas muslim) pada saat itu bahwa mereka dibodohi dengan ayat itu.

Tetapi pada saat bersamaan beliau khilaf, entah karena terlalu PD atau 'keminter', bahwa beliau telah bermain-main atau membawa konten yang 'sensitif' dan diketahui oleh publik.

Bagi umat muslim yang peka, konten ini (QS. Al Maidah:51) adalah sesuatu yang prinsipil karena menyinggung masalah keyakinan/kebenaran ayat bagi umat Islam terlepas siapa yang (sebelumnya) mengutarakannya (mau lawan politiknya atau orang gila sekalipun).

"Karena begitu agama menjadi masalah maka itulah inti masalah. Orang akhirnya memilih. Begini logika orang: kalau harus memilih membela agama atau negara, orang pasti akan membela agama. Dan ini adalah studi sosiologi yang lama tentang agama Islam." (Fahri Hamzah, wakil ketua DPR- RI 2015-2016)

Pak Gubernur mungkin sudah meminta maaf, tetapi karena ini persoalan etika dan membawa muatan yang sangat esensial bagi umat/kelompok muslim yang cukup beragam di tanah air (disamping tidak adanya pemegang autoritas umat muslim di nusantara) maka secara etis pula masalah ini dibawa ke ranah hukum (dalam sistem demokrasi) untuk tidak menimbulkan syak wasangka & fitnah di kemudian hari. Relevansinya sama dengan kasus penghadangan kampanye calon pawagub di ibukota beberapa waktu lalu.

"Saya sudah memaafkan beliau (bapak Haman), tetapi karena ini negara hukum dst..." (Djarot Saiful Hidayat, wakil Gubernur DKI Jakarta 2015-2016)

Kita tidak bicara motif (mens rea), karena motif bukanlah sebab/obyek hukum (adanya hukum(an) akan tetapi sebagai pelengkap alat bukti (lihat tinjauan penulis dalam kasus lain). Di sisi lain, kalau memang pak Gubernur tidak mau dianggap 'keminter/sotoy' menyeberang/menggunakan domain/jargon 'terlarang' ini, tolong sebutkan saja siapa yang mengajarkan tafsir makna umum surat Al Maidah:51 ini secara 'tidak kompeten' (tafsir komprehensif bisa dilihat disini, situ dan sana).

"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan." (QS. Luqman:6)

“Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara.” (QS. Al-Hujurat :10)

“Orang mukmin dengan orang mukmin yang lain seperti sebuah bangunan, sebagian menguatkan sebagian yang lain.” (Shahih Muslim No.4684)

* Bonus:
- Tips Kesehatan: Manfaat Serat kulit jeruk

2 komentar:

  1. Oke, studi dilanjutkan dan lebih diperjelas lagi. Jadi, apakah benar terbukti bahwa sang Gubernur telah melakukan penistaan?

    KBBI menyebutkan bahwa arti nista adalah sbb:

    :: menjadikan (menganggap) nista; menghinakan; merendahkan (derajat dan sebagainya)

    Ada 3 poin tuduhannya (versi ane, sebagai seorang muslim) yaitu sbb:

    1. Beliau yang non muslim ini mengaitkan/mengcross identitas (atribut milik) muslim tsb untuk kepentingan dirinya sendiri, entah untuk menarik simpati, mengcounter lawan atau apapun juga, bahkan melakukan semacam penafsiran ayat kitab suci sak karepe dewe. Ini poin pelanggaran etika, bahkan dilakukan oleh setingkat pejabat publik (mestinya lebih berat hukumannya dibanding sekedar rakyat jelata).

    2. Beliau terkesan (jika mengabaikan motif sebenarnya) meremehkan (atau bersikap sombong) atas fungsi atau tujuan/maksud ayat tsb, yang mana menurut keyakinan muslim, ayat tersebut adalah kalam Allah SWT dan dicreate olehNya. Mencela (kegunaan) ayat ini sama saja dengan mencela dan menghina Allah, dan menghina keyakinan umat lain (muslim) bahkan seolah dirinya lebih baik dari (peraturan) Allah SWT. Hal ini dapat ditelusuri dari sejumlah pernyataan beliau secara sadar bahwa ayat seperti itu menyebabkan rakyat terpecah belah, ataupun telah menganggap bahwa yang mengungkapkan/menggunakannya (ayat tsb) sebagai politisi yang kurang cerdas (busuk) yang berimplikasi berarti seolah beliaulah politisi yang cerdas tsb (keminter, red) Why? Karena beliau pula yang mengkritisi ayat dalam kitabnya sendiri, yaitu Galatia:6 (ini apa namanya kalau bukan disebut aksi tanpa motif/tidak sengaja?). Entah karena "kebodohan" beliau atau "kepintaran" beliau atau mungkin sama-sama "busuknya" dengan politisi lain, disinilah poin penghinaan agamanya.

    3. Menganggap bahwa politisi yang menggunakan ayat tsb sebagai politisi busuk adalah menghina politisi muslim tsb padahal "politisi" tsb telah membawa konteks ayat yang benar (bagi kaum muslim dan dianggap sebagai bagian dari dakwah bagi umat) terlepas dari motif politisi tsb. Politisi yang "dianggap" baik adalah politisi yang selalu melampirkan/menyampaikan ajaran agamanya masing2 alih2 aliran nalaris ataupun liberalis yang tak memiliki nilai moral (tak berdasar). Jadi disinilah poin pelanggaran etika sekaligus penghinaan terhadap (saudara sesama) muslim.

    Kata orang, "BIARLAH KEBENARAN YANG BERBICARA!", jadi siapa takut (keberatan) diliput live?

    BalasHapus
XHTML: Anda dapat menggunakan tag-tag ini (untuk menambahkan link dst): a href="",b,strong,del,i,strike

You may also like

Baca juga

You may also like

LinkWithin