#melawan hoax |
Wahai pembaca yang budiman,
Allah swt telah berfirman: "Dan taatlah kamu kepada Allah, dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya), dan berhati-hatilah." (Al-Mā'idah:92)
Saat ini & beberapa waktu lampau, ataupun di jaman akhir akan banyak muncul penyeru-penyeru dan ajaran2 yang menisbatkan (menghubungkan) pada agama Islam, akan tetapi perkaranya atau pengambilan metodenya tidak
mengacu secara hati2/komprehensif dengan kitab Al Quran dan 'kawannya', yaitu As Sunah (lihat ayat Al Maidah diatas bagaimana sebuah konsep hukum disusun).
Syariat atau amalan seperti ini di sebut Al-Bid'ah, yang merupakan lawan dari As-Sunah. Sebagaimana yang disebutkan ayat sbb:
(Adh-Dhāriyāt):49 - Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.
"Salah satu tanda kiamat dekat ialah orang mencari ilmu (Islam) dari ahli bid'ah." (HR. Abdullah bin Mubarak) #atau hadis lain yang mempunyai pengertian mirip
Perkara Bid'ah kadang sekilas seperti hal sepele (lumrah), tapi sebenarnya seolah seperti mencari/melihat semut kecil yang sedang berjalan di batu hitam di malam hari. Samar...sangat samar, sehingga bahkan akan seperti yang disabdakan oleh nabi:
"Sesungguhnya kamu akan mengikuti jejak (mis. tradisi, red) orang sebelummu sejengkal demi sejangkal dan sedikit demi sedikit." (HR. Ahmad)
Nah sekarang bagaimana kita mengetahui/menguji suatu amalan tsb berpotensi bidah atau tidak? Berikut beberapa caranya sbb:
1. Amalan tsb tidak pernah disebut, baik dalam Al-Quran dan Al-Hadis, terutama hadis dalam derajat sahih, misal yang populer adalah riwayat Bukhari-Muslim.
2. Yang dimaksud dengan "tidak pernah disebut" batasannya adalah bahkan menurut pemahaman orang awam, yaitu perkara yang terang benderang (jelas redaksi kalimatnya sehingga orang awam dapat menangkap maksudnya tanpa perlu menafsirkannya lagi).
3. Jika suatu konsep amalan/perkara ternyata (hanya) ditemukan dalam referensi keislaman di luar Al Quran dan hadis sahih, maka supaya lebih amannya, kita dapat mengabaikannya (tidak perlu diamalkan, red). Apa pertimbangannya?
a. Kita tidak tahu referensi tsb siapa yang menuliskannya.
b. Jika tulisan tsb disebut nama pengarangnya, kitapun tidak tahu/tidak mengenal cukup baik siapa dia, apa latar belakangnya, apa motifnya, dan dari kelompok/aliran mana. Sementara kita tidak mungkin menanyakan/mengkonfirmasi lagi kebenaran/maksud tulisan tsb, karena pengarangnya sudah meninggal ratusan tahun yang lalu.
c. Kita tidak dapat mengukur ataupun mengetahui seberapa jauh derajat kesahihan (keabsahan) suatu referensi Islam diluar Quran dan hadis (sahih). Suatu referensi bisa saja dibuat2 dengan mencatut nama ulama A, atau Imam B. Tapi kita tidak tahu, apakah benar2 seperti itu atau cuma hasil rekayasa.
d. Jika suatu perkara atau tulisan referensi tsb disusun oleh ulama atau seorang imam yang termasyhur (populer) yang sering disebut dalam referensi keislaman, kitapun tidak tahu apa konteks dan landasan yang dipakai beliau saat karya tulisannya dibuat. Apakah hanya sekedar menyajikan suatu fakta peristiwa (semacam liputan berita) ataukah sebuah fatwa?
e. Kita harus ekstra berhati-hati terhadap amalan/tulisan seorang sufi, karena aliran sufistik kebanyakan/cenderung berlebihan bahkan menyimpang dari sunah (sementara kita tidak memiliki kemampuan untuk menguji kebenarannya).
(Al-'Isrā'):36 - Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Selanjutnya bagaimana sikap kita terhadap suatu perkara/amalan yang disebut dalam suatu hadis, dan terlihat baik, akan tetapi hadis tsb bukanlah termasuk hadis sahih atau status hadis tsb tidak kita ketahui karena keterbatasan pengetahuan kita sebagai orang awam? Berikut caranya:
a. Kita boleh tidak percaya pada hadis tsb. Otomatis kita tidak perlu mengamalkannya.
b. Atau, kita dapat mempercayai hadis tsb, dengan niat untuk menambah spirit dalam beramal.
c. Lalu, kita harus meninggalkan amalan tsb, jika suatu saat kita mengetahui bahwa status hadis tsb ternyata dhaif (lemah) atau maudu (palsu). Khusus hadis dhaif, jika mau diterapkan hanya bisa diuji oleh ijma ulama.
"Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, tunggulah hari kiamat." (HR. Bukhari)
d. Jika suatu hadis termasuk dalam kategori hasan, kita dapat terus mengamalkannya dan berbaik sangka kepadanya (bahwa itu benar) untuk memperkuat spirit, selama isinya tidak bertentangan dengan ayat Al- Quran maupun hadis sahih.
"Sesungguhnya ilmu ini merupakan unsur pokok dalam agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu." (HR. Tirmidzi)
Terkadang (dan mungkin sering) suatu ayat Al Quran seperti memiliki makna ganda. Namun kita tidak perlu terlalu bingung, karena sifat/kandungan Quran memang (dirancang) seperti itu. Jika kita ragu, kita dapat menanyakannya kepada ulama atau ustad yang dapat dipercaya.
Al-Ĥijr:9 - Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
Namun, jika keterangan atau amalan tsb terdapat dalam hadis sahih dan kita meragukannya (merasa aneh/berlebihan/inkonsisten) maka kita dapat atau perlu mencari tahu/menelusuri siapa perawinya, bagaimana karakternya, bagaimana validitas sanadnya, dan apa maksud isinya (matan) termasuk asbabun nuzul/sebab turun (konteks peristiwanya).
“Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan Hadits Rasulullah, peganglah Hadits Rasulullah itu dan tinggalkan pendapatku itu” (Imam Syafii)
“Tidak boleh bagi seorangpun berpendapat dengan pendapat kami hingga dia mengetahui dalil bagi pendapat tersebut.” (Imam Abu Hanifah)
Akhirnya, bagaimana sih sikap kita agar kita tidak terjebak oleh perkara bidah? Berikut resepnya:
1. Mengamalkan ajaran Islam secara kaffah,
"Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhan." (QS. Al-Baqarah [2]:208)
2. Mengikuti sunah Rasul,
"Tidak disebut beriman salah seorang diantara kamu, sampai nafsunya mengikuti apa yang kubawa." (Al- Hadis)
"Tidak sempurna iman seseorang, sampai dia mencintaiku lebih dari ayah dan anaknya..." (HR. Bukhari Muslim)
3. Tidak berlebih-lebihan (memberatkan diri/menambah-nambahi/mempersulit situasi) dalam agama/menjalankan syariat,
"Hampir saja mereka tidak dapat melaksanakan perintah itu." (QS. Al-Baqarah:71)
“Janganlah kalian mengkultuskan diriku sebagaimana orang-orang Nashrani mengkultuskan Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku tidak lain hanyalah seorang hamba, maka katakanlah, ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari:3445)
4. Jangan terlalu bangga (sombong) dan ngeyel dengan golongan anda sendiri, meskipun jumlahnya/pengikutnya banyak. Siapa tahu andalah/kitalah yang keliru,
(Ar-Rūm):32 - yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.
(Al-Mā'idah):49 - Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.
5. Jangan terburu nafsu dalam menyimpulkan suatu perkara dalam bidang agama. Siapa tahu pendapat anda/kita ternyata tidak/kurang tepat,
(Yūnus):39 - Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka penjelasannya.
"Kehati-hatian datangnya dari Allah dan ketergesa-gesaan datangnya dari setan." (HR. Tirmizi)
6. Jangan bersikap masa bodoh/cuek dengan penyimpangan (dalam) agama/syariat. Terkadang kita merasa mempunyai sebuah intuisi, tetapi kita tidak berani mempertanyakan/mengujinya,
(Al-Mā'idah):104 - Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?.
(Al-'An`ām):116 - Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).
"Hendaknya diantara kamu tidak segan-segan dalam menyatakan kebenaran yang diketahuinya, sekalipun menyalahi kebiasaan manusia!" (HR. Abu Said Al Khudri)
Dari orang awam, wallahu 'alam, wassalam...
* Bonus:
Artikel serupa,
- Taklid = suka ikut-ikutan tuh mah berbahaya mak!
- Perayaan Maulid Nabi, Perlukah?
- Antitesis: Menghisap rokok, Haramkah?
- Tanggapan: Jika semua Bidah sesat, Adakah yang Selamat?
- Tawassul Dengan Orang Mati, Syubhat Dan Bantahannya
Menanggapi artikel AMALAN BID’AH HASANAH SUFYAN TSAURI, maka penulis berpendapat sbb:
BalasHapusJangan terlalu cepat menuduh orang melakukan amaliah bidah atau tidak. Bukankah admin sendiri menulis "STOP MENUDUH BIDAH" ataupun "JANGAN MENCELA ULAMA" akan tetapi malah menuduh/menduga Sufyan Ats Tsauri melakukan bidah. Bidah itu bukan masalah melakukan atau tidak melakukan sesuatu, akan tetapi lihat-lihat konteksnya dulu. Menurut hemat penulis, Sufyan Tsauri tidak sedang melakukan bidah, alasannya sbb:
Beliau sedang melakukan itikaf di masjid. Perkara beliau mau shalat sunah sebanyak-banyaknya (shalat mutlaq/shalat tanpa sebab), berdzikir/wiridan, membaca Quran ataupun sujud sepanjang waktu sambil bertasbih dan membaca doa di antara dua waktu shalat, itu tidak dilarang ataupun sebaliknya, yaitu dianjurkan dalam ajaran Islam. Ini adalah perkara mubah yang menjadi amalan sunah bagi Sofyan Tsauri (asal kuat saja). Sesuatu perkara itu disebut bidah jikalau keluar dari prosedur/metode ajaran Islam dan berniat mengekalkannya dengan anggapan bahwa apa yang diajarkan oleh Islam itu kurang/tidak cukup (tidak relevan) sehingga dia bermaksud menambah-nambahi/menyelisih metode/pakem (out of context dan out of topic).
Bahkan seorang hakim dilarang memutuskan/mengambil fatwa saat dia sedang marah, karena dikhawatirkan dia akan menyimpang/tidak adil/tidak proporsional. Jadi jangan sambil marah ya bro hehe....
Nih ada bonus tautan buat anta:
Apa yang dimaksud Bid'ah?
Pengertian As-Sunnah Menurut Syari’at
Kaidah menentukan perkara bidah atau bukan
Hadis tentang keutamaan bersujud:
Hapus"Seorang hamba berada paling dekat dengan Rabbnya ialah ketika ia sedang bersujud. Maka perbanyaklah berdoa ketika itu." (HR. Muslim)
Redaksi kalimat yang benar dari para ulama tentang bidah atau bukan (kaitannya dengan mashalah mursalah) seharusnya seperti ini:
BalasHapusAbu Hamid Al-Ghozali: Tidak semua dari perkara baru itu dilarang, tetapi yang dilarang adalah perkara baru yang bertentangan dengan sunnah dan menetapkan dan mengangkat sesuatu perkara melebihi syari’at agama [menetapkan sesuatu melebihi kewajiban agama]. [Ihya’ ‘Ulumuddin hal. 428]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: Adalah apa yang dianggap suatu mashlahah [kebaikan] oleh kaum muslimin jika hal keberadaannya disebabkan oleh adanya hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dan hal ini dibolehkan mengadakan hal yang baru yang memang dibutuhkan. [Iqtidho Ash-Shiroth Al-Mustaqim hal. 258]
Imam Syafi’i berkata, “Setiap sesuatu yang mempunyai dasar dari dalil-dalil syara’ maka bukan termasuk bid’ah, meskipun belum pernah dilakukan oleh salaf. Karena sikap mereka meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada uzur yang terjadi saat itu (belum dibutuhkan) atau karena ada amaliah lain yang lebih utama, dan atau hal itu barangkali belum diketahui oleh mereka (belum dikenal formatnya).” . [Itqon Ash-Shun’ah Fi Tahqiq Ma’na Al-Bid’ah, Sayyid Al-Alamah Abdulloh bin Shodiq Al-Ghumari Al-Husaini
Artikel yang berhubungan:
BalasHapusTak Ada Sunnah Doa Khusus Akhir dan Awal Tahun Hijriyah
Yang paling gres saat ini adalah, MELEDAKKAN BOM DI TENGAH KAFIR DHIMMI = perilaku/ajaran atau amalan bidah☝
BalasHapusSalah satu definisi bidah adalah sbb:
BalasHapus"Mengkhususkan waktu atau tempat tertentu dalam suatu amalan ibadah yang tidak pernah ada contoh atau dalilnya dari nabi dan para sahabatnya."